Rumah Filsafat (The House of Philosophy)
“Rasionalitas Komunikatif” Jürgen Habermas, Masihkah
Relevan?
Ditulis oleh Reza A.A Wattimena pada
Juli 5, 2007
Jürgen Habermas hadir sebagai seorang filsuf Jerman yang mau
menyegarkan kembali kebuntuan epistemologis Teori Kritis Mazhab Frankfurt
generasi pertama. Kebuntuan epistemologis Mazhab Frankfurt tersebut terletak pada
ketidakmampuan mereka merumuskan sebuah solusi dari analisis “dialektika
negatif” yang mereka refleksikan sendiri.
“Dialektika negatif” tersebut, jika mau dirumuskan secara
singkat, sebenarnya mau menekankan pesimisme masyarakat terhadap rasionalitas yang
sebelumnya dianggap mampu menyelamatkan manusia dari kebodohan dan kemiskinan,
tetapi kini telah menjadi sumber dari malapetaka didalam peradaban manusia itu
sendiri. Berbagai bentuk teknologi hasil temuan dari “rasionalitas” kini justru
seakan-akan memakan tuannya sendiri, seperti bom atom, yang notabene adalah
hasil penemuan brilian dari pengembangan dari teori Einstein, kini menjadi
mesin penghancur manusia yang paling efektif.
Dengan demikian, bagi Teori Kritis Mazhab Frankfur generasi
pertama, krisis didalam peradaban manusia modern sudahlah total, terutama
karena tidak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran harapan untuk mencapai
pembebasan. Rasionalitas justru telah menjadi senjata yang paling ampuh untuk
menghancurkan manusia itu sendiri.
Miskonsepsi Rasionalitas
Habermas melihat bahwa kebuntuan yang dialami Teori Kritis
Frankfurt generasi pertama, yang dipelopori oleh Adorno, Horkheimer, dan
Marcuse, tersebut sebenarnya berpijak pada kesalahan epistemologis didalam
mengartikan rasionalitas. Bagi para pendahulunya tersebut, rasionalitas lebih
dipandang sebagai rasionalitas instrumental, yakni bentuk rasionalitas yang
mengutamakan kontrol, dominasi atas alam ataupun manusia untuk menghasilkan
efektifitas dan efisiensi, dan prioritas pada hasil yang paling maksimal.
Jika menggunakan konsep rasionalitas semacam itu, maka
manusia akan terasing satu sama lain, terutama karena mereka memperlakukan
manusia lainnya sebagai benda untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Maka
tidaklah heran jika Teori Kritis generasi pertama tersebut jatuh kedalam
kebuntuan dan pesimisme total terhadap rasionalitas.
Pesimisme tersebut akhirnya dialihkan oleh Teori Kritis
Mazhab Frankfurt generasi pertama ke dorongan-dorongan manusia yang lebih
bersifat libidinal, seperti eros, nafsu, dan estetika. Mereka pun “melompat”
kedalam term-terms yang lebih estetis, libidinal, dan menolak rasionalitas
sebagai elemen kunci pembebasan manusia.
Terobosan Habermas: Rasionalitas Komunikatif
Habermas melihat miskonsepsi atas rasionalitas tersebut, dan
kemudian merumuskan potensi emansipatoris dari rasionalitas yang tidaklah
instrumental, yakni rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif ini
sudah tertanam didalam akal budi manusia itu sendiri, dan didalam kemampuan
mereka berkomunikasi satu sama lain, sehingga akan selalu ada dan tidak mungkin
dihilangkan selama manusia itu masih ada.
Proyek pencerahan memang membawa dampak buruk bagi peradaban
manusia, tetapi dampak baiknya juga tidak dapat dilupakan begitu saja. Perang
memang memakan korban yang semakin besar, tetapi kemampuan manusia untuk
menggunakan akal budinya juga bertambah, dan dimana sumber masalah ada,
biasanya disitulah sumber solusinya.
Jika yang salah adalah rasionalitas manusia yang telah
menjadi melulu instrumental, maka solusinya adalah rasionalitas yang bersifat
komunikatif yang terletak didalam kemampuan manusia untuk mencapai
kesalingpengertian terhadap manusia lainnya, yakni didalam bahasa. Dengan
merumuskan rasionalitas komunikatif sebagai inti dari seluruh pemikirannya,
Habermas berhasil membuat terobosan dari kebuntuan para pendahulunya di Teori
Kritis Frankfurt, dan kemudian melebarkan analisis Teori Kritis sampai
menyentuh refleksi filsafat bahasa, teori diskursus dan moralitas, serta
Refleksi tentang ruang publik, dimana rasionalitas menemukan ruang
implementasinya, yakni didalam prakteks dialog dan debat publik untuk mencapai
kesaling pengertian.
Rasionalitas Komunikatif Dalam Perdebatan
Terobosan yang diberikan Habermas dengan konsep rasionalitas
komunikatifnya tersebut memang membuka ruang-ruang baru bagi analisis Teori
Kritis. Banyak pihak yang memuji terobosan ini sebagai salah satu terobosan
teoritis terbaik didalam sejarah filsafat.
Seperti yang sering dialami oleh para pemikir, adanya pujian
juga berarti adanya kritik. Teori Habermas yang brilian ini pun tidak bebas
dari kritik, terutama dari kritik yang dilontarkan oleh para pemikir
post-modern, seperti Derrida, Lyotard, ataupun Foucault.
Para pemikir postmodern ini curiga dengan segala bentuk
teori yang mengklaim mampu menawarkan solusi yang bersifat universal,
ontologis, dan berasal dari refleksi metafisika. Konsep rasionalitas
komunikatif pun mereka tuduh sebagai solusi universal yang menggendong elemen
penindasan dibaliknya.
Elemen penindasan tersebut terletak pada klaim universalnya
yang dianggap mengeliminasi perbedaan, lokalitas, serta segala sesuatu yang
bersifat partikular. Jika refleksi filsafat jatuh pada satu konsep kunci yang
dianggap mampu mendefinisikan dan menjadi solusi bagi semua permasalah manusia
yang berbeda-beda, maka solusi tersebut sebenarnya sudah menjadi problem baru,
dimana perbedaan manusia dengan segala pluralitas kehendak, kebertubuhan,
ideologi, pemahaman, latar belakang sosial direduksi kedalam term-term yang mengklaim
dirinya universal, padahal sebenarnya menindas.
Para pemikir postmodern pun mencap Habermas sebagai salah
satu filsuf yang berpikir dalam paradigma filsafat subyek yang cenderung
mengeliminir perbedaan, dan karena itu menindas. Dengan kata lain, Habermas
telah merumuskan sebuah pemikiran yang membenarkan penindasan atas nama
universalitas.
Habermas pun tidak diam saja menerima kritik yang tampak
berat sebelah tersebut. Didalam perdebatannya dengan Derrida, Habermas
berpendapat bahwa para filsuf postmodern adalah pemikir yang tidak mampu
merumuskan konsep yang rigorus didalam menganalisis suatu permasalahan, dan
karena itu mereka bermain dengan kategori-kategori yang puitis, estetis, serta
tidak sistematis.
Konflik antara para pemikir postmodern dengan Habermas
tersebut menjadi sangat kontroversial pada dekade 1980-an. Didalam sejarah
filsafat, periode tersebut lebih dikenal sebagai “diskursus post-modern”.
Masihkah relevan?
Lepas dari perdebatan yang kontroversial tersebut, masihkah
relevan konsep rasionalitas komunikatif Habermas diera sekarang ini? Ataukah,
searah dengan kritik para filsuf postmodern, konsep tersebut sudah usang, dan
tidak lagi dapat dijadikan sandaran untuk menganalisis serta memberikan solusi
terhadap berbagai masalah yang kita hadapi sekarang ini?
Justru, ditengah semakin banyak problem yang muncul akibat
perbedaan persepsi, ideologi, agama, serta kepentingan inilah konsep tersebut
dapat digunakan sebagai salah satu alternatif solusi yang paling jitu. Didalam
masyarakat majemuk seperti Indonesia, kemampuan berkomunikasi yang baik untuk
mencapai kesalingpengertian bersama mutlak diperlukan, sehingga integrasi
masyarakat yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang berbeda dapat terus
dipertahankan.
Kritik para pemikir postmodern tersebut memang layak
diperhatikan, tetapi kritik tersebut lebih berada ditataran refleksi filosofis,
dan tidak menyangkal kegunaan praktisnya sebagai alternatif solusi didalam
menjembatani perbedaan yang ada melalui komunikasi yang sehat, inklusif, bebas
dominasi, egaliter, serta dilandasi kejujuran, ketepatan, kebenaran, dan
komprehensibilitas. Dengan demikian, konsep ini masihlah sangat relevan untuk
masyarakat kita.
Yang harus juga diingat adalah, rasionalitas janganlah
dihapus dari kehidupan manusia, melainkan juga digunakan untuk menghadapai
bahaya-bahaya yang seringkali dilahirkannya sendiri. Kita harus lebih jeli
membedakan yang mana “berkat” dari “kutuk” yang menimpa kita. Kemampuan
membedakan sesuatu yang distingsinya halus semacam itu mungkin tidak lagi
dimiliki oleh masyarakat kita yang dibombardir terus menerus oleh logika
neoliberalisme, dimana keuntungan finansial menjadi satu-satunya tujuan
utama……sayang memang