Minggu, 28 Agustus 2011

Perlu Ruang Dialog Papua-Jakarta


SALATIGA, KOMPAS.com - Pemerintah perlu membuka dialog dengan masyarakat Papua dengan penuh keterbukaan. Ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam mengelola konflik di Papua akan terus menyemai ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah, dan kekerasan serta konflik akan terus terjadi.
Konflik dan kekerasan akan terus terjadi apabila Jakarta dan Papua tidak duduk bersama dalam melihat situasi Papua. Yang dibutuhkan masyarakat Papua adalah keterbukaan pemerintah pusat untuk mendengar apa yang diinginkan Papua.
-- Decky Wospakrik
"Konflik dan kekerasan akan terus terjadi apabila Jakarta dan Papua tidak duduk bersama dalam melihat situasi Papua. Yang dibutuhkan masya rakat Papua adalah keterbukaan pemerintah pusat untuk mendengar apa yang diinginkan Papua," demikian diungkapkan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih Papua, Decky Wospakrik, dalam diskusi panel tentang Separatisme di Indonesia; Akar Masalah dan Solusi, di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (27/7/2011).
Decky mengungkapkan, dialog yang pernah dilakukan pemerintah pusat dalam penyelesaian konflik Aceh, seharusnya dapat menjadi jalan awal dalam mengurai konflik berkepanjangan. Dialog dapat menghadirkan rasa saling terbuka tanpa ada rasa saling curiga antara pemerintah di Jakarta dengan Papua.
Penembakan yang masih terjadi selama ini banyak diklaim dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Padahal tidak ada bukti yang menujukkan penembakan itu dilakukan oleh OPM. "Hal itu harus benar-benar diusut, jangan-jangan ada pihak luar yang menyulut konflik," kata Decky.
Selama ini orang Papua, kata Decky, berusaha menunjukkan bahwa Papua bisa memiliki kemampuan yang setara denga n penduduk di Jawa, khususnya di Jakarta. Hal itu terbukti melalui prestasi yang ditorehkan klub sepak bola Persipura yang selalu bermain cemerlang.
"Namun, selama ini usaha-usaha itu seolah-olah hilang begitu saja dengan stigma gerakan separatisme. Maka, selama stigma itu belum hilang, konflik akan terus terjadi. Jika pemerintah terus membiarkan hal itu terjadi, orang Papua menjadi korban," ujar Decky.
Menurut Decky, hal yang paling diinginkan oleh masyarakat Papua adalah adanya keterbukaan dari pemerintah pusat. Keterbukaan meliputi pelurusan sejarah masuknya Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan melihat kembali pelaksanaan Perjanjian New York dan penentuan pendapat rakyat (Pepera).
Selain itu, pemerintah juga harus membuat suatu komisis r ekonsiliasi yang berhubungan dengan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua, dan menguatkan kembali pelaksanaan otonomi khusus (otsus) Papua. Diskriminasi terhadap orang Papua juga harus dihentikan dengan mengeluarkan kebijakan affirmative.
Pengajar Magister Ilmu Hukum UKSW, Arie Siswanto, mengungkapkan, munculnya gerakan separatisme di suatu negara seharusnya menjadi alat koreksi terhadap terjadinya ketidakadilan. Separatisme juga menguat ketika pemerintah suatu negara dalam kondisi yang lemah.  

http://regional.kompas.com/read/2011/07/27/19414292/Perlu.Ruang.Dialog.Papua.Jakarta.

SEMARANG METRO

28 Juli 2011

Separatisme Berakar dari Ketidakadilan dan Penegakan Hukum Lemah

  • Diskusi Panel MIH UKSW
SIDOREJO- Akar masalah dari kemuculan separatisme di Indonesia terjadi karena beberapa sebab. Di antaranya adalah adanya ketidakadilan, sentimen kesejahteraan serta lemahnya pelaksanaan dan kontrol hukum, Namun dari ketiga sebab itu, ketidakadilan menjadi akar yang paling mendasar.

Hal itu dikemukakan dosen STAIN Salatiga Benny Ridwan MHum, ketika menjadi salah satu narasumber dalam diskusi panel Magister Ilmu Hukum (MIH) UKSW, Rabu (27/7).

Diskusi yang digelar di Balairung UKSW itu mengambil topik ”Separatisme di Indonesia: Akar Masalah dan Solusi”. Pembicara lainnya adalah Arie Siswanto SH M.Hum (dosen FH UKSW) dan dosen Universitas Cenderawasih Jayapura Decky Wospakrik SH.

Acara diikuti mahasiswa Fakultas Hukum dan fakultas lainnya di UKSW,organisasi ekstra kampus, LSM. Hadir pula Komandan Kodim 0714 Letkol Inf JX Barreto Nunes dan dari Polres Salatiga.
Benny mengemukakan, separatisme yang sudah berlangsung puluhan tahun sulit sekali dan tidak dapat dihentikan. Bahkan dengan operasi militer sekali pun atau bahkan perundingan damai. ”Karena separatisme adalah menyangkut masalah ketidakadilan,” tandas Benny.

Dikemukakan pula, separatisme muncul akibat kelemahan sistemik, problem sosial kemasyarakatan, organisasi birokrasi dan faktor individu, maka harus mendapat penanganan secara optimal dan sungguh-sungguh.

Sedang Arie Siswanto menyatakan secara historis ada beberapa wilayah di Indonesia yang dapat dianggap sebagai hotspot bagi gagasan separatisme. Yakni Aceh, Papua dan Maluku. Namun tidak berarti wilayah lainnya tidak memiliki potensi timbulnya separatisme.

”Faktor-faktor ekonomi yang berkaitan dengan kesenjangan horizontal maupun kesenjangan vertikal antara pusat dengan daerah juga ikut melatarbelakangi gagasan separatisme seperti yang terjadi di Aceh,” tandasnya.
Selain itu, adanya pergeseran norma dan praktek hukum internasional mestinya juga menjadi perhatian Indonesia.
Sehingga, pada level internasional perlu dilakukan penguatan diplomasi untuk meminimalisasi  simpati internasional terhadap gerakan-gerakan separatisme di Indonesia.

Adanya Dialog

Sedang Decky Wospakrik memaparkan materi tentang gerakan separatisme di Papua. Dia mengungkapkan, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk masalah gerakan separatisme di Papua adalah dengan mengadakan dialog dengan Jakarta untuk pelurusan sejarah bergabungnya Papua ke NKRI.
Sebagai solusi menangkal gerakan separatisme, Benny memaparkan pentingnya nasionalisme, juga peace building, peace making dan peace keeping.

Peace building tidak mudah karena banyak pihak yang akan terlibat seperti agamawan, akademisi dan praktisi pendidikan, selain pihak-pihak yang melakukan separatisme bisa diajak duduk bersama. Peace making juga bisa dilakukan dengan membangun kesadaran perdamaian di antara mereka yang berkonflik.
Sedang dalam peace keeping tidak hanya dibutuhkan kekuatan militer tetapi juga kesadaran moralitas untuk berbagi dan menegur jika ada kesepakatan yang dilanggar. Sedang Arie Siswanto mengungkapkan, salah satu upaya menangkal separatisme bisa dilakukan dengan mengidentifikasi, pemetaan potensi separatisme dan menggali faktor yang dominan. (H53-72)



http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/07/28/154044/Separatisme-Berakar-dari-Ketidakadilan-dan-Penegakan-Hukum-Lemah

Rabu, 24 Agustus 2011


Prof. Hans Wospakrik

Prof. Hans Jacobus Wospakrik dilahirkan di Serui, Papua, tanggal 10 september 1951. Setelah menamatkan sekolah menengah, ia melanjutkan pendidikan pada jurusan Pertambangan, Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1971. Karena tidak diminatinya, Hans pindah ke jurusan Fisika dan menyelesaikan pendidikan sarjananya pada tahun 1976. Pada akhir tahun 1970-an, ia pergi ke Belanda dalam rangka menyelesaikan pendidikan pasca sarjana di bidang fisika teoritis. Pada tahun 1999 Hans juga pergi ke Universitas Durham, Inggris dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 2002.
Pada awal tahun 1980-an, sambil melanjutkan studi pasca sarjananya, Hans pernah mengadakan riset bersama Martinus J.G. Veltman di Utrecht, Belanda. Veltman adalah Fisikawan peraih nobel fisika tahun 1999. Ketika pindah ke Ann Arbor, Michigan, Amerika Serikat, Veltman ngotot mengajak Hans untuk bersama-sama dengannya melakukan riset di sana. Hal ini menunjukan bahwa Hans adalah fisikawan yang cemerlang.
Hans Wospakrik adalah mantan seorang fisikawan Indonesia yang merupakan dosen fisika teoritik di Institut Teknologi Bandung. Hans adalah seorang yang mendapatkan penghargaan fisikawan terbaik oleh Universitas Atma Jaya Jakarta atas pengabdian, konsistensi, dan pengorbanannya yang tinggi dalam penelitian di bidang fisika teori. Ia memberi sumbangan berarti kepada komunitas fisika dunia berupa metode-metode matematika guna memahami fenomena fisika dalam partikel elementer dan Relativitas Umum Einstein. Hasil-hasil penelitiannya ini dipublikasikannya di jurnal-jurnal internasional terkemuka, seperti Physical Review D, Journal of Mathematical Physics, Modern Physics Letters A, dan International Journal of Modern Physics A.
Dengan tujuh hasil penelitian yang menembus jurnal internasional terkemuka, tiga hasil penelitian diterbitkan jurnal online yang bersifat internasional, tak terhitung penelitiannya yang diterbitkan jurnal dan prosiding dalam negeri, serta menghabiskan waktu sebagai pegawai negeri mengajar dan membimbing mahasiswa di ITB, Dr Hans J Wospakrik yang meninggal pada 11 Januari 2005 dihargai pemerintah hanya sampai golongan IV-A, lektor kepala. Setelah mengetahui publikasi Hans yang menembus Physical Review D, padahal waktu itu Hans masih dengan gelar sarjana, belum PhD, Prof Dr Ryu Sasaki dari Institut Fisika Teori Yukawa di Kyoto, Jepang geleng-geleng kepala mengetahui Hans hanya dihargai pemerintah dengan golongan pangkat yang tidak memadai. Prof Dr Ryu Sasaki mengatakan bahwa bila menggunakan syarat-syarat di Jepang, Hans adalah satu dari sedikit ilmuwan di Indonesia yang berhak mendapat gelar profesor.
Santun, ramah, dan penolong. Inilah kesan yang dibawa setiap orang yang pernah berjumpa dengan Hans. Sikap ini tidak hanya diperlihatkannya secara alami kepada rekan-rekannya sesama pengajar, tetapi juga kepada mahasiswa-mahasiswanya. Sebagian besar kawan-kawannya dan mahasiswanya mengatakan belum pernah melihat Hans marah. Paling-paling dia diam kalau ada yang tidak berkenan di hatinya. Diam itu pun biasanya segera cair.
Sebagai pegawai negeri, Hans memperlihatkan hubungan berbanding langsung antara gaji dan kehidupan. Pada sebagian besar pegawai negeri, hubungan gaji dan kehidupan adalah berbanding terbalik sebab dengan gaji kecil (gaji pokok pegawai dengan golongan tertinggi IV-E tidak lebih dari Rp 4 juta), banyak pegawai negeri punya rumah lebih dari satu, mobil lebih dari satu, deposito dalam orde miliar rupiah. Hans selama hidupnya sebagai pegawai negeri tidak sempat memiliki rumah, tidak pernah memiliki mobil, bahkan sepeda motor. Setiap tahun ia harus memperbarui kontrak rumahnya, ke kampus naik angkot. Tak jarang ia pulang malam dari kampus jalan kaki setelah menempuh tujuh kilometer sebab angkot menuju rumahnya sudah tidak beroperasi lagi. Dalam hal ini, satu lagi predikat harus disematkan ke pundaknya : Pegawai Negeri Terbaik.
Kebaikan-kebaikannya inilah yang menumbuhkan pilu ketika menyaksikan bagaimana rumah sakit memperlakukan seorang fisikawan Indonesia yang luar biasa ini di akhir hidupnya. Karena kekurangan uang panjar, dua hari pertama Hans yang menderita leukemia itu tidak mendapatkan obat dari rumah sakit tempat ia terakhir dirawat. Begitu ada uang tambahan, barulah rumah sakit mulai memberikan obat. Beberapa jam setelah itu Hans mengembuskan napasnya yang terakhir. Di kamar jenazah, tubuh Hans harus menunggu suntik formalin karena keluarga harus pontang-panting mengumpulkan uang sebanyak Rp 1 juta. Kartu kredit tidak berlaku di ruang jenazah itu. Dokter menunggu uang terkumpul. Untung ada Karlina Supelli, seorang yang bertanya ke dokter, “Saya punya beberapa dollar dan rupiah yang kalau dikumpulkan sekitar Rp 1 juta. Apakah ini dapat diterima?” Sang dokter langsung memungut uang itu dan formalin seketika disuntikkan. Karlina adalah adik kelas Hans di ITB. Karlina di Departemen Astronomi, Hans di Departemen Fisika. Keduanya mendalami kosmologi. Keduanya menulis skripsi dengan pembimbing yang sama: Dr Jorga Ibrahim. Keduanya lulus cum laude.
Dari Atomos Hingga Quark adalah sebuah buku hasil karya Hans yang menceritakan mengenai pencarian manusia sepanjang sejarah mengenai penyusun terkecil dari materi-materi alam ini. Berawal dari Yunani di mana para filsuf saat itu berfilsafat mengenai penyusun terkecil setiap materi, Jazirah Arab yang disinggung oleh Hans sebagai pemegang “obor pengetahuan” berikutnya setelah Yunani, ilmu alkemi, reaksi nuklir yang “menceritakan” pada kita tentang keberadaan atom, proton dan neutron, sampai temuan saat ini mengenai satuan materi yang lebih kecil, yaitu quark. Pada halaman depan buku tersebut, Prof. Dr. Martinus J.G. Veltman mengatakan : “Dari publikasinya … saya lihat dia betul-betul terus bekerja sebaik mungkin dalam teori partikel. Orang seperti Hans besar sekali nilainya buat negeri yang mulai memasuki komunitas riset dunia. Kita merasa kehilangan”. Dia adalah ilmuwan terbaik (Indonesia) yang pernah kita miliki.

Dari Atomos hingga Quark


Judul: Dari Atomos hingga Quark
Penulis: Hans J. Wospakrik
Penerbit: KPG & Penerbit Universitas Atma Jaya
Tahun: 2005
Genre: Ilmu Pengetahuan Umum
Tebal: 324 Halaman
ISBN: 979-91-0030-5

Buku multi-ilmu-eksakta yang dikarang oleh almarhum Hans J Wospakrik ini disampaikan dengan ringan serta jernih. Pembaca seakan-akan diajak untuk menapaki perjalanan panjang pencarian kebenaran hakikat zat yang merupakan satu-satunya zat terkecil yang menyusun alam semesta. Penulis santun kelahiran 50-an Irian Jaya ini, menghindari pembahasan-pembahasan rumit dan pencantuman kalkulasi-kalkulasi kompleks untuk memberi rasa nyaman bagi pembacanya.
Bab awal dalam buku yang terdiri dari 324 halaman ini, memulainya dengan menceritakan keadaan ilmu pengetahuan sebelum munculnya para pemikir-pemikir Yunani purba. Dimana saat itu, ilmu pengetahuan ibarat dikebiri dan hanya dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan. Hingga muncul seorang filsuf yang menyulut obor pencarian tak berujung sebuah ilmu pengetahuan tentang hakikat zat yang telah menjadi saripati kehidupan ini. Dialah Thales, yang menganggap bahwa zat dasar itu adalah air.
Semangat sang Thales untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, ternyata membakar semangat filsuf-filsuf lainnya. Herakleitos, Empedokles, dan Anaksagoras pun tak mau ketinggalan mengikuti perlombaan tak berujung ini. Masing-masing menyempurnakan pandangan yang dibawa filsuf sebelumnya. hinggaDemokritos yang mencetuskan teori Atomos, yang mengatakan bahwa zat penyusun alam semesta ini adalah zat mungil yang tidak tampak dan tidak bisa dibelah lagi.
Aristoteles yang sangat tersohor pun muncul ke permukaan. Namun dia menolak teori Atomos yang menurutnya sebuah khayalan mengawang belaka, Aristoteles lebih mendukung teori empat unsurnya Empedokles yang menganggap bahwa zat yang dimaksud adalah : tanah, air, udara, dan api. Karena kedudukan Aristoteles yang cukup disegani, maka teori atomos terkubur selama berabad-abad.
Walaupun pendapat Aristoteles terbukti kesalahannya saat ini, namun ternyata teori empat unsur ini melahirkan cabang ilmu pengetahuan baru, al-kimia. Obor ilmu pengetahuan ketika itu berpindah ke tangan para cerdik pandai Arab. Sehingga kita akan teringat banyak unsur kimia yang memiliki awalan nama ‘al-’ seperti alkohol, alkana, alkali, dll adalah dari bahasa penemunya. Di tangan cendikiawan Arab ini, dikemukakan bahwa zat dasat penyusun alam semesta adalah tiga asas yang dilukiskan dalam “air raksa”, “belerang”, dan “garam”.
Obor ilmu pengetahuan kemudian berpindah ke Eropa Barat. Tempat dimana Boyle, Lavoiser, Dalton, Gay-Lussac, Avogadro mengembangkan ilmu kimia yang berasal dari bangsa Arab. Di abad inilah John Dalton berhasil membuktikan keberadaan zat mungil yang dimaksud oleh Demokritos, sehingga teori atomos yang telah terkubur berabad-abad itu kini hidup kembali. Di lain pihak pula lahirlah ilmu kelistrikan yang dimulai dengan ditemukannya batu ambar yang digosok ke bulu hewan sehingga memiliki kemampuan menarik benda-benda ringan didekatnya. William Gilbert, Charles F. du Fay, Benjamin Franklin, Charles A de Coulomb, Galvani, Volta, Georg Simon Ohm turut berpartisipasi dalam membangun fondasi ilmu kelistrikan.
Bab selanjutnya dijelaskan terjadinya perkawinan antara Listrik dan Kimia yang pada awalnya ditemukan secara tidak sengaja oleh biologiwan Italia, Luigi Galvani yang kemudian dilanjutkan oleh Alessandro Volta. Pada tempat yang lain pula, ditemukannya kaitan antara listrik dengan magnet yang ditemukan oleh fisikawan Denmark Hans Cristian Oerstedt. Kemudian dikembangkan oleh fisikawan Skotlandia, James Clerk Maxwell menjadi sebuah teori elektromagnet. Dengan teori ini hakikat cahaya terjelaskan dan kehadiran gelombang radio teramalkan. Hingga akhirnya dapat menjelaskan teori elektron.
Pencarian terus bergulir tanpa henti sampai sekarang. Hingga kita mengetahui bahwa zat terkecil itu adalahatom yang merupakan miniatur tata surya, zat yang katanya tidak bisa lagi dipecahkan. Namun ilmu pengetahun masih terus mengungkap kebenaran sebenarnya, hingga saat ini ilmu pengetahuan mengungkapkan bahwa zat termungil yang menyusun alam semesta ini adalah Quark. Dimana Quark terbagi menjadi 3 : up (u), down (d), dan strage (s). Dengan masing-masing bermuatan (2/3), (-1/3), dan (-1/3)
Proton = 2 u + 1 d = 2 (2/3) + 1 (-1/3) = +1
Neutron = 1 u + 2 d = 1 (2/3) + 2 (-1/3) = 0
Bagi pecinta sains, buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia & Penerbit Universitas Atma Jaya ini mungkin menjadi menu sarapan pelengkap

Airmata Duka Iringi Kepergian Profesor Ir. Frans.A. Wospakrik, MSc


Rubrikasi Berita Hari Ini
Oleh Gabriel Maniagasi   
Rabu, 03 Agustus 2011 13:51
[JAYAPURA]—Ratusan pelayat meneteskan airmata duka mengiringi prosesi pelepasan Jenazah Profesor  Ir Frans Alexander Wospakrik, MSc di Auditorium Universitas Cenderawasih, pada Rabu, (3/8) siang tadi. Prosesi pelepasan jenazah dilakukan setelah ibadah dari kediaman almarhum di Kelurahan Yabansai, Distrik Heram menuju Gereja Kriten Injili Jemaat Sion di Padang Bulan Abepura tempat almarhum biasanya beribadah.
Prosesi ini berlangsung setelah penyerahan jenazah oleh majelis jemaat GKI Sion Padang Bulan secara simbolis kepada pihak Univeritas Cenderawasih (Uncen) yang diterima Rektor Uncen untuk selanjutnya dilakukan prosesi penghormatan terakhir oleh segenap civitas akademika Uncen.
Usai penyerahan,  dibacakan daftar riwayat hidup almarhum  oleh Kepala Biro umum dan administrasi Uncen, Drs. Alfred Wayangkau. Dalam pembacaan itu disebutkan bahwa almarhum Frans Alexander Wospakrik memiliki keteladanan dan kepribadian yang patut menjadi contoh bagi semua pihak, pasalnya almarhum sejatinya adalah seorang guru besar yang sangat rendah hati. Buktinya dalam kehidupan bermasyarakat ia lebih memilih untuk tidak menggunakan sebutan profesor. Padahl gelar itu telah diperolehnya sejak 1 Oktober 2003. tentu banyak hal yang menjadi pertimbangannya.
Prof. Ir. Frans Alexander Wospakrik, MSc dilahirkan di kampung Yoka, pada 28 Januari 1947 dari pasangan Tom Wospakrik dan Lidia Boekorsyom. Ia merupakan putra kedua dari 10 orang bersaudara yang umumnya dikenal sebagai keluarga intelek yang berbudi luhur.
Sesepuh tokoh intelektual Papua, Dr (HC) Barnabas Suebu, SH dalam sambutannya mengatakan bahwa almarhum dikenal sebagai sosok pribadi yang ulet, rendah hati, jujur, dan pekerja keras.
Menurut Barnabas Suebu, orang Papua kehilangan seorang tokoh intelektual yang punya integritas dan kapabilitas baik. Ia pemimpin sebagai Yesus yang mendekati sempurna. “Jarang kita memiliki pemimpin seperti ini karena sungguh sangat langka”, ujar Bas dalam sambutannya.
Semasa hidupnya Profesor Frans Alexander Wospakrik telah berjasa bagi pengembangan pendidikan Tinggi di Tanah Papua. Hal itu terbukti dengan banyaknya pengabdian dan karya-karya yang ditorehkannya bagi kemajuan masyarakat di Tanah Papua, seperti menjadi Dekan di Faperta Manokwai. Fakultas Ekonomi dan Fakultas MIPA setelah itu menjadi Rektor Uncen dua periode sejak 1996-2000.
Di luar perguruan tinggi Profesor Frans Alexander Wospakrik pernah dipercayakan sebagai ketua Tim penyusun Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus pada tahun 2000 kemudian menjadi anggota tim Enviroment Advisory Commitee PT Freeport Indonesia  sejak 2000-2004 lalu menjadi ketua Forum DAS, menjadi anggota tim pendirian Universitas Ottow Geissler Jayapura dan terakhir menjadi Wakil Ketua 1 Majelis Rakyat Papua (MRP) ejak 2005 - 2010, ia juga pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1997-2005 dan penah juga dipercayakan menjadi ketua Persekutuan Intelektual Kristen Indoneia (PIKI) Daerah Papua sejak 1998 - sekarang. Almarhum meninggalkan seorang istri Ir Yudha Marti Wospakrik, MSc.
Jenazah akhirnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Abepura diiringi tangis duka keluarga dan seluruh rakyat yang pernah merasakan buah karya tangannya. “Selamat jalan bapak Profesor Ir Frans Alexander Wospakrik, MSc jasamu kami kenang dan semangatmu kami teladani”, ujar Marinus Yaung diamini rekannya Sepo Nawipa yang juga Dosen Fisip Uncen.*

Rabu, 17 Agustus 2011


Gerakan Separatisme di Papua
mengurai konflik dan solusi penyelesaian Papua - Jakarta[1]
Decky Wospakrik, S.H.[2]

Latar Belakang Gerakan Perlawanan Bangsa Papua
Gerakan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri sudah terjadi sejak masa pendudukan Jepang di Papua pada 1942-1946. Manuskrip-manuskrip sejarah perlawanan rakyat Papua banyak mencatut gerakan Koreri di wilayah Biak sebagai gerakan perlawanan bangsa Papua paling spektakuler di masa itu[3]. Gerakan Koreri dipimpin Angganitha Menafaur. Ia menjuluki dirinya ‘Ratu Emas dari Judea’ dan menahbiskan diri sebagai nabi perempuan titisan Manseren Manggoendi. Gerakan Koreri kemudian mengalami penjelmaan dari gerakan kebatinan, menjadi suatu gerakan kemerdekaan bersifat ethno-nasionalis-politis akibat militansi Stephanus Simopyaref, rekan seperjuangan Menafaur. Simopyaref berambisi menyatukan segenap suku dan klan Melanesia ke dalam satu pandangan nasionalisme bangsa Papua.
Pada 1942, sekitar 500-600 pengikut gerakan perlawanan Koreri dibunuh tentara Jepang. Menafaur sendiri ditahan tentara Jepang lalu dibawa ke Manokwari. Sebagai langkah awal menggelar idealisme kemerdekaan bangsa Papua, Simopyaref menggagas misi menyelamatkan Menafaur. Ia menginstruksikan penyusunan tentara, armada dan masyarakat, dengan menggunakan bendera Belanda yang dibalikkan, ditambah dengan bintang laut putih (sampari) di latar biru. Bendera ini dinamai bendera Koreri. Simopyaref mengklaim bendera itu telah diwahyukan Manseren Mangundi kepada Menafaur. Di pertengahan 1942, Simopyaref ditangkap tentara Jepang setelah sebelumnya terjadi serangkaian dialog dan kontak senjata antara kubu Simopyaref dan tentara Jepang. Ia lalu dibawa ke Manokwari. Bersama Menafaur, di sana mereka berdua diancam hukuman mati oleh pemerintah Jepang. Namun gelora kemerdekaan bangsa Papua terlanjur dikumandangkan Simopyaref  dalam wadah gerakan Koreri Menafaur[4].
Perjalanan bangsa Papua dalam menentukan nasib sendiri memasuki babak baru saat persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam sidang BPUPKI tanggal 10 dan 11 Juli 1945, kepastian status Papua sebagai bagian wilayah Indonesia menjadi topik perdebatan alot di antara para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam pandangan Moh. Yamin, Soekarno dan Kahar Muzakar, strategi geopolitik Indonesia mengharuskan Papua terintegrasi dengan Indonesia, sekalipun secara etnografis bangsa Papua lain dengan bangsa Indonesia. Bahkan Soekarno menyatakan, jika ditilik dari sisi historis, dalam Nagarakertagama—manuskrip kronik jaman Majapahit yang ditulis Mpu Prapanca—Papua ternyata masuk dalam wilayah kerajaan Majapahit. Lagipula, Soekarno dan Muzakar sudah kadung kesengsem dengan kekayaan alam Papua yang menurut mereka tak ternilai harganya. Namun Moh. Hatta berbeda. Menurut beliau, pandangan Yamin, Soekarno dan kawan-kawan itu merupakan pandangan imperialis. Dengan melihat pendekatan etnografis, bangsa Papua itu bangsa Melanesia, bukan bangsa Polinesia yang mendiami sebagian besar wilayah Indonesia. Persoalan apakah Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia atau tidak, menurut Hatta, bisa diserahkan kepada keputusan bangsa Papua sendiri[5].
Pada 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, namun Papua secara administratif masih di bawah naungan kerajaan Belanda. Merasa sudah terlalu lama mengeruk kekayaan alam di tanah Papua, Belanda merasa perlu memberikan kebebasan bagi bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Misi moril dekolonisasi pemerintah Belanda bertujuan untuk menyiapkan kemerdekaan Papua sebagai negara sendiri di bawah naungan Belanda. Merespon niat Belanda itu, kaum elit terdidik Papua merencanakan penentuan nasib sendiri melalui pembentukan Nieuw Guinea Raad yang diresmikan pada April 1951. Untuk merealisasikan misi dekolonialiasi Belanda, beberapa pentolan Nieuw Guinea Raad yaitu Nicolaas Jouwe dan kawan-kawan membentuk komite nasional dalam rangka mempersiapkan alat-alat dan simbol kelengkapan negara. Negara bangsa Papua yang dipersiapkan itu dinamai Papua Barat (West Papua). Pada 1 Desember 1961, Bintang Kejora, bendera nasional negara Papua Barat dikibarkan sejajar dengan bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan dihadapan mahkota kerajaan Belanda[6].
Peristiwa itu menyebar cepat hingga ke pusat pemerintahan Indonesia. Dari alun-alun Yogyakarta, lewat pidato Tri Komando Rakyat pada 19 Desember 1961, presiden Soekarno mengobarkan semangat pengembalian Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi dari skenario pembentukan negara boneka Belanda. Pada awal 1962, pasukan Indonesia mulai melancarkan operasi pembebasan Irian Barat. Di tengah memanasnya konflik Belanda Indonesia, pada Maret 1962, Amerika Serikat mengajukan usulan mengenai penyelesaian persoalan Papua Barat kepada PBB. Usulan itu ditindaklanjuti dengan New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Kesepakatan antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia itu berisi: (1) Belanda menyerahkan tanggung jawab administratif pemerintahan Papua Barat kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA); (2) Terhitung 1 Mei 1962, UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia; (3) Pada akhir 1969, di bawah pengawasan PBB, dilakukan Act of Free Choice bagi rakyat Papua untuk dapat menentukan sendiri nasib atau kemerdekaannya sendiri[7].
“The Act of self-determination will be completed before the end of 1969,” begitu nas dalam Article XX New York Agreement. Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969, Act of Free Choice bagi rakyat Irian Barat digelar lewat PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat). Namun PEPERA hanya diwakili 1,025 warga Papua, sedangkan Act of self-determination mengkaidahkan satu orang satu suara (One Man One Vote). Bagi rakyat Papua, hingga saat ini PEPERA masih dianggap sebagai bentuk manipulasi Indonesia untuk menguasai tanah Papua[8]. Di sisi lain, Indonesia beralasan sistem one man one vote tidak cocok dengan budaya Indonesia yang menganut asas musyawarah untuk mufakat berdasarkan Pancasila.
Munculnya Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak puas dengan kebijakan pemerintah Indonesia selama Papua terintegrasi dengan Indonesia. Perjuangan OPM adalah untuk melapaskan diri dari Negara Kesatuan Indonesia (NKRI). Perkembangan dari pergerakan dan perjuangan OPM terjadi di berbagai tempat di Papua yang berlangsung sejak 1967 hingga 2001.
R Z. Leirissa dalam buku “Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya” yang terbit pada 1992 menilai gerakan separatis yang dilakukan OPM—dan serangkaian peristiwa terkait yang terjadi di Papua—adalah hasil dari didikan Belanda yang sewaktu-waktu akan meledak. Dengan cara pandang seperti ini Leirissa terkesan menyalahkan pihak asing atas kegagalan pemerintah Indonesia mengelola konflik Papua selama Papua terintegrasi dengan Indonesia.
Gerakan separatisme yang terjadi di Papua menarik untuk dicermati karena beberapa alasan, antara lain: (1) Papua saat ini adalah satu-satunya Provinsi di Indonesia yang proses integrasinya melalui mekanisme Internasional dengan penentuan jajak pendapat (PEPERA); (2) gerakan separatisme di Papua menunjukan watak gabungan antara pemahaman tradisional suku-suku dengan simbolisasi pemujaan terhadap koreri atau bintang kejora di satu sisi, dan di sisi lain dipimpin oleh orang-orang yang dididik ideologi kebangsaan secara modern untuk melakukan lobi-lobi politik yang bermartabat; (3) gerakan separatisme di Papua ini bertahan lama dan selalu mampu memperbaharui kepemimpinannya[9].
Brian May yang meneliti di Papua pada sekitar akhir 60-an dan awal 70-an menunjukkan kompleksitas sekaligus karakteristik yang khas dari gerakan rakyat Melanesia. Ia tak dapat disebut semata-mata sebagai suatu gerakan politik atau gerakan perlawanan gerilya. Ia mengidap sesuatu yang secara psikologis jauh lebih kompleks daripada apa yang bisa didefinisikan sebagai suatu gerakan politik. OPM adalah suatu gerakan rakyat yang bersifat keagamaan yang isinya dijiwai oleh suatu ideologi keselamatan, pembebasan, dan pemakmuran melalui proses-proses yang bersifat gaib yang model-modelnya terdapat dalam mitos-mitos. OPM lahir setelah serangkaian pertarungan kekuasaan yang melibatkan Pemerintah RI, Amerika Serikat, UNTEA, Pemerintah Belanda, dan sejumlah elit terdidik Papua yang berlangsung sejak 1962 hingga 1969. PEPERA 1969 menandai “kemenangan” usaha integrasi Papua Barat oleh Pemerintah RI. Sebagian elit Papua yang Pro Belanda hijrah ke Belanda. OPM juga ditumbuhkan dan dibesarkan oleh seluruh proses tersebut di atas yang di dalamnya tersimpan pengalaman ketakadilan oleh rekayasa berlebihan dari militer Indonesia. Sejak itu sebagian elit Papua pimpinan OPM membangun perlawanan dan mencoba melibatkan rakyat dalam usahanya “merebut kembali” kemerdekaan Papua Barat yang sempat mereka proklamasikan pada 1 Desember 1961[10].
Menurut Djopari, pemberontakan OPM disebabkan ketidakpuasan dan kekecewaan orang Papua karena mulai awal integrasi rakyat Papua ditekan dan diintimidasi oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan menurut antropolog George Junus Aditjondro, gerakan separatisme dan gelombang perlawanan baik bersenjata maupun non-bersenjata di Papua berkembang seiring intensitas kekerasan yang dilancarkan aparat keamanan Indonesia di Papua. Pertumbuhannya dimulai dari gerakan kepala burung ketika batalion Papua di bawah komando Johan Ariks dan Mandatjan melancarkan serangannya pada 1965, kemudian gerakan itu tumbuh dengan diproklamasikannya kemerdekaan Papua oleh Seth Jafet Rumkorem pada 1971 di perbatasan dekat Papua New Guinea[11].
Otonomi Khusus Papua: jawaban atas gejolak politik di Papua?
Ketika rejim kekuasaan Orde Baru runtuh pada 1998, keinginan kemerdekaan penuh dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu pandangan yang berkembang di masyarakat Papua pada saat itu.
Demonstrasi 1998 di Papua merupakan refleksi rakyat Papua atas pengalaman di masa lalu sebagai korban dari kesewenang-wenangan kekuasaan, maupun refleksi atas ketidakadilan ekonomi serta perlakukan diskriminatif. Itu sebabnya, sebagian besar demonstrasi Papua 1998 mengusung isu: (1) pertanggungjawaban pemerintah pusat atas terjadinya rangkaian pelanggaran HAM di Papua; (2) hak untuk berpartisipasi dalam jenjang kepegawaian di Papua; (3) pengendalian perampasan kekayaan alam di Papua; dan (4) persoalan hak ulayat atas tanah adat masyarakat Papua.
Ketika tuntutan-tuntutan itu tidak mendapat respon sebagaimana mestinya—bahkan seringkali dihadapi dengan kekerasan—tuntutan keadilan itu berubah menjadi tuntutan kemerdekaan. Seiring dengan perubahan isu, terjadi pula perubahan aktor. Pada awalnya demonstrasi dilancarkan oleh pemuda dan mahasiswa, kemudian mulai masuk kelompok-kelompok tua, cendekiawan dan tokoh-tokoh agama dengan mengusung persoalan lama, yaitu masalah PEPERA. Akhirnya segala tuntutan demokratisasi kemudian bermuara pada satu tuntutan: pelurusan sejarah.
Pergolakan di Papua pada 1998 merupakan suatu akumulasi dari kekecewaan masyarakat Papua sejak bergabung dengan Indonesia. Akumulasi itu diakibatkan karena penderitaan secara politik, ekonomi, sosial dan budaya, pelanggaran HAM sebagai akibat dari diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua, dan stigmatisasi OPM sebagai kelompok pengacau keamanan yang disematkan militer Indonesia kepada orang-orang Papua. Pandangan bahwa daerah yang begitu kaya yang dimiliki oleh orang Papua telah dirampas dan dibawa ke Jakarta dan termarginalnya masyarakat Papua dalam tekanan kekuasaan Jakarta.
Untuk menghadapi gejolak politik disintegrasi tersebut, pemerintah Indonesia meresponnya dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong yang memecah Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Irian Jaya Bagian Timur, Tengah dan Barat. Upaya untuk meredam gejolak politik di Papua dengan jalan pemecahan tersebut gagal total. Dan penolakan atas pemecahan tersebut juga mendapatkan penolakan luas dari masyarakat Papua.
Sebagai respon pemerintah Indonesia dari gagalnya upaya meredam konflik politik Papua tersebut, dalam Sidang Umum MPR 12-21 Oktober 1999 dikeluarkan TAP MPR No. 4/1999 tentang GBHN 1999-2004 yang isinya menyatakan:
“Integrasi bangsa dipertahankan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah Otonomi Khusus yang diatur dengan Undang-undang.”
Isi dari TAP MPR No. 4/1999 tersebut mengamanatkan pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus Papua), suatu jalan tengah yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua.
Sebagaimana amanat UU No. 21 Tahun 2001, Otsus Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti tanggung jawab yang lebih besar bagi pemerintah provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat Papua. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Dengan berlakunya Otonomi Khusus Papua, penduduk asli Papua mempunyai identitas diri yang khusus dan merupakan suatu keragaman dari masyarakat asli Papua. Undang-undang Otonomi Khusus memberikan keberpihakan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar dari penduduk asli Papua. Untuk itu perlindungan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua mencakup enam dimensi pokok kehidupan, yaitu: (1) Perlindungan hak hidup orang Papua di Tanah Papua, yaitu suatu kualitas kehidupan yang bebas dari rasa takut serta terpenuhi seluruh kebutuhan jasmani dan rohaninya secara baik dan proporsional; (2) Perlindungan hak‐hak orang Papua atas tanah dan air dalam batas‐batas tertentu dengan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya; (3) Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan aspirasinya; (4) Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk terlibat secara nyata dalam kelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan kehidupan berdemokrasi yang sehat; (5) Perlindungan kebebasan orang Papua untuk memilih dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya, tanpa ada penekanan dari pihak manapun; dan (6) Perlindungan kebudayaan dan adat istiadat orang Papua[12].
Pemberlakuan Otonomi Khusus Provinsi Papua memberikan suatu dampak affirmative terhadap orang asli Papua. Hal ini dapat dilihat dari pengisian jabatan di Papua yang mana dalam UU Otsus Papua memberikan kesempatan untuk mengisi jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta mengisi jabatan di birokrasi memprioritaskan pengisian jabatan adalah orang asli Papua (Pasal 12 huruf a UU Otsus Papua). Begitu juga dengan amanat yang menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan Otsus Papua perlu dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural dari masyarakat asli Papua.
Kedudukan MRP terdapat dalam Bab V Pasal 5 Ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 UU Otsus Papua, sedangkan pembentukannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Sebagai partner kerja dari pemerintah daerah, kedudukan MRP dengan segala tugas dan kewenangannya dapat memberikan suatu manfaat atas pelaksanaan Otsus Papua, dan diharapkan dapat memberi masukan yang memihak pada kepentingan masyarakat asli Papua.
Namun sudah sepuluh tahun pelaksanaan Otsus di Papua, ketidakadilan masih menggerogoti kehidupan masyarakat Papua. Terjadi suatu penolakan terhadap pelaksanaan Otsus oleh masyarakat Papua karena manfaat pelaksanaan Otsus Papua tidak dirasakan oleh masyarakat asli Papua.
Adapun beberapa masalah dalam pelaksanaan Otsus Papua, antara lain:
1)        Adanya ketidak sepahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Papua. Pemerintah pusat tidak punya komitmen kuat dalam pelaksanaan Otonomi Khusus, karena ada yang berpandangan Otsus Papua itu sarana bagi gerakan separatis papua merdeka, sehingga pemerintah pusat melakukan pembiaran terhadap pelaksanaan Otsus dengan berbagai penyimpangan dan pemekaran wilayah di Papua. Di satu sisi, pemerintah daerah Papua sendiri sepertinya tidak siap dengan pelaksanaan Otsus Papua.
2)        Adanya temuan penyimpangan dalam pengelolaan dana alokasi Otsus Papua. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan telah menemukan penyelewengan dana otonomi khusus (otsus) Papua sebesar Rp 4,2 triliun dari total dana Rp 28,8 triliun sejak periode 2002-2010[13]. Rizal Djalil dari BPK mengklaim ada 1,85 triliun dana alokasi Otsus Papua periode 2008-2010 yang didepositokan, padahal dana itu seharusnya dialokasi untuk pengembangan pendidikan dan kesehatan rakyat Papua[14].
3)        Pembentukan MRP di Papua Barat telah keluar dari semangat Otonomi Khusus Papua. UU Otsus Papua, PP No. 54/2004 dan Perdasus No. 4/2010 tentang Pemilihan Majelis Rakyat Papua hanya mengenal adanya satu MRP di Papua. Namun, terbitnya Perdasus No. 5/2011 tentang Pemilihan Majelis Rakyat Papua di Provinsi Papua Barat telah memberikan jalan bagi terbentuknya dualisme MRP di Papua. Terbentuknya MRP Papua Barat dikarenakan pandangan bahwa baik di Papua dan Papua Barat harus dibentuk MRP sebagai akibat dari pemekaran Papua. Hal ini yang oleh DPRP Papua Barat kemudian menggelar paripurna khusus untuk menerbitkan Perdasus 5/2011[15].
4)        Pemaksaan pemekaran wilayah Papua yang dilakukan pemerintah Indonesia. Inpres Nomor 1 tahun 2003 tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah yang disahkan pemerintah Indonesia mengkhianati amanat tentang prosedur pemekaran provinsi Papua yang diatur dalam Pasal  76 UU Otsus. Inpres 1/2003 adalah tindak lanjut dari UU 45/1999 tentang Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah. Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 018/PUU-I/2003 pada tanggal 11 November 2004 telah menyatakan UU 45/1999 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
5)        Pemilihan dan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur tidak sesuai dengan amanat UU Otsus Papua. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 81/PUU-VIII/2010 tanggal 2 Maret 2011 menyatakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPR Papua (DPRP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a UU Otsus Papua tidak memenuhi kriteria kekhususan atau keistimewaan yang melekat pada daerah Papua. Dengan keputusan MK tersebut, maka kewenangan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPRP serta tata cara pemilihan yang terdapat dalam Pasal 7 Ayat (1) Huruf (a) UU Otsus Papua sudah tidak lagi dapat digunakan oleh DPRP untuk melakukan pemilihan dan pengangkatan gubernur dan wakil gubernur Papua berdasarkan kekhususan Provinsi Papua sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Otsus Papua.
6)        Pemerintah pusat memiliki pandangan bahwa lambang atau simbol kedaerahan yang berhubungan dengan gerakan separatis harus dilarang penggunaannya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Hal ini menimbulkan ketidak percayaan masyarakat papua terhadap pemerintah pusat karena PP 77/2007 bertentangan dengan amanat tentang penggunaan lambang daerah Papua dalam Pasal 2 UU Otsus Papua.
7)        Ketujuh, tidak ada realisasi atas pembagian hasil sumber daya alam Papua untuk Papua dan Jakarta sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 34 UU Otsus Papua. Hal ini tercermin dalam kontrak karya pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia yang digagas pada 1967 yang telah memupuk kecemburuan sosial masyarakat Papua akibat ketidakadilan pembagian hasil sumber daya alam yang dikeruk PT. Freeport Indonesia di Papua[16]. Menurut Alibasjah Inggriantara, beberapa persoalan mendasar yang ia nilai amat mengecewakan penduduk asli Papua mengenai keberadaan PT. Freeport Indonesia, yaitu: (1) tidak legalnya penyerahan Papua kepada PT. Freeport Indonesia, karena seharusnya menunggu pelaksanaan pleebisit 1969, sebab saat itu Papua belum diputuskan untuk menjadi wilayah integral dari Indonesia. Muncul dugaan ini adalah ‘hadiah’ rejim pemerintah orde baru kepada Amerika Serikat yang punya peran besar melengserkan pemerintahan orde lama di Indonesia; (2) dari segi kultural, penandatanganan kontrak karya antara Indonesia dan PT. Freeport Indonesia sama sekali tidak melibatkan penduduk asli Papua. Itu sebabnya banyak hak adat penduduk setempat yang dilanggar melalui pengerukan isi perut bumi Papua. Mis: Suku Amungme percaya beberapa gunung di wilayah Papua merupakan tempat bersemayam arwah Jomun-Nerek, nenek moyang orang mereka; (3) dari aspek ekonomi, kontrak karya itu dinilai sangat merugikan penduduk Papua. Melalui pola penguasaan saham, hasil yang didapatkan oleh penduduk asli maupun Pemerintah Indonesia sangatlah minim; (4) secara geologis, areal kontrak karya terlalu besar dibanding harga yang diberikan pemerintah Indonesia kepada PT Freeport. Padahal, dengan melakukan ekplorasi di Papua, PT. Freeport Indonesia berkembang menjadi perusahaan tambang terbesar ketiga di dunia; (5) kesejahteraan yang diberikan oleh PT. Freeport Indonesia kepada rakyat Papua terlalu kecil dibandingkan dengan penghasilan yang dicapai selama 21 tahun berproduksi di Papua (1973-1994). Dalam kurun waktu tersebut, PT. Freeport Indonesia hanya menyisihkan anggaran sebesar 5,56% saja untuk program sosial. Walau setelah tahun 1994 meningkat, namun jumlahnya tetap saja tidak lebih dari 10%; (6) PT. Freeport Indonesia masih kurang menunjukkan perhatian yang baik terhadap lingkungan hidup. Sampah (tailings) yang ia buang menyebabkan musnahnya 3.300 vegetasi hutan tropis, terjadinya penyumbatan mulut sungai dan endapan mulut sungai yang menyebabkan musnahnya banyak spesies ikan di Papua. Selain itu, terdapat juga aliran air asam tambang akibat proses oksidasi tailings dan batuan limbah[17].
Gerakan Separatis Pasca Pemberlakuan Otsus Papua
Dengan diberlakukan Otsus Papua, perjuangan OPM mereduksi perjuangannya lewat jalur-jalur diplomasi yang lebih bermartabat. Peran tersebut lebih ditujukan kepada Presedium Dewan Papua yang memperjuangkan status Papua.
Menurut Bilver Singh, sesudah jatuhnya rejim pemerintahan orde baru, perjuangan OPM dilakukan dengan membentuk National Coalition dan United Fronts. Salah satunya adalah pembentukan National Liberation Council (NCL) yang dipimpin Amos Indey, Toto dan Rumkorem. Dewan ini mengorganisir kekuatan yang sudah berdiri sejak 1960-an semisal Semangat Angkatan Muda Papua anti Republik Indonesia (SAMPARI), Operasi Organisasi Papua Merdeka (OOPM) dan Gerakan National Papua (GNP).
Pada Juni 2003, atas inisiatif Tom Beanal dan John Otto Ondawen, pertemuan pemimpin Papua Barat diselenggarakan di Niewegein, Utrech, Belanda, untuk melakukan rekonsiliasi pejuang-pejuang Papua. Pertemuan tersebut ditindak lanjuti dengan pertemuan di Lae, PNG pada 28 November 2005 yang menghasilkan berdirinya WPNCL (West Papua Coalition for Liberation) yang bermarkas di Port Villa. Dewan ini juga memiliki sayap militer yang terpisah dari OPM yakni The West Papua National Liberation Armed Forces yang diketuai oleh Mathias Wenda[18].
Demikian dapat dilihat bahwa ada pergeseran sifat pergerakan separatis di Papua. Sebelumnya lebih pada pergerakan bersenjata yang dilakukan oleh OPM, namun pada masa pemberlakuan Otsus Papua, ia beralih ke jalur diplomasi dan lobi-lobi Internasional.
Jalan diplomasi yang dilakukan untuk memperjuangkan Papua juga dapat dilihat dengan adanya Presedium Dewan Papua (PDP) dan Dewan Adat Papua. PDP yang dipimpin oleh Theys H. Eluay merupakan lembaga yang secara informal memiliki legitimasi politik, sosial dan budaya secara luas di dalam masyarakat Papua. PDP lahir dari “Kongres Papua 2” di Jayapura pada Mei-Juni 2000. PDP merupakan lembaga yang pro-kemerdekaan Papua, bertujuan untuk meluruskan sejarah integrasi Papua dan memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai.
Namun perjalanan pergerakan PDP tidak dapat terlepas dari kekerasan politik di Papua. Pada 10 November 2001, Theys Hiyo Eluay diculik. Esok harinya, jenazah Eluay ditemukan di wilayah Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kabupaten Jayapura.
Perjuangan kemerdekaan Papua mengalami tekanan militer Indonesia—baik yang bergerak secara damai maupun dengan menggunakan senjata—demi mewujudkan keutuhan NKRI. Namun hal ini tidak dapat begitu saja lepas dari peranan intejen yang melakukan gerakan infiltrasi kedalam  masyarakat Papua untuk meredam gerakan kemerdekaan Papua. Pertaruhan politik antara Jakarta dan Papua pada masa pelaksanaan Otsus menyebabkan kekerasan terus terjadi di Papua. Stigma separatis Papua dengan mudah di capkan terhadap kasus-kasus penembakan dan pembunuhan diwilayah Papua (khususnya di daerah pegunungan tengah dan areal pertambangan Freeport). Penembakan terus menerus terjadi, tanpa adanya suatu pembuktian apakah memang betul itu dilakukan oleh OPM sesuai dengan yang disangkakan pihak militer Indonesia[19].
Penembakan dan kekerasan di Papua bagaikan susunan puzzel yang harus di konstruksikan kembali dan disusun secara cermat. Tanpa adanya pembuktian terkait siapa pelaku sesungguhnya, situasi politik dan gangguan keamanan di Papua mustahil akan mereda. Ironisnya, Papua dan ancaman disintegrasinya secara nyata belumlah dianggap serius oleh pemerintah pusat. Apalagi soal keamanan di PT. Freeport Indonesia yang selama ini menjadi komoditi banyak pihak di Jakarta maupun di Papua. Yang paling mengerikan adalah jika kredibilitas pemerintah Indonesia dan kepentingan nasional yang lebih besar di Papua dikorbankan demi melindungi kelompok tertentu karena kepentingan yang sama, dan solidaritas korps di kalangan aparat keamanan atau pun angkatan bersenjata. Jika itu yang terjadi, kita semakin yakin bahwa paradigma separatisme dan siklus kekerasan di Papua memang sedang dirawat[20].
Solusi Konflik Papua: Dialog Papua-Jakarta
Ketegangan politik antara Papua dan Jakarta yang diwarnai kekerasan dan konflik terus terjadi di Papua semenjak Papua masuk kedalam NKRI hingga era pelaksanaan Otsus.
Ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam mengelola konflik Papua akan menimbulkan ketidakpercayaan orang Papua yang tidak menguntungkan bagi Jakarta. Konflik dan kekerasan akan terus terjadi apabila Jakarta dan Papua tidak duduk bersama dalam melihat situasi dan kondisi Papua yang sedang terjadi. Yang dibutuhkan masyarakat Papua adalah keterbukaan dari Jakarta untuk mendengar apa yang diinginkan oleh Papua atas situasi politik di Papua.
Rencana dialog Papua-Jakarta yang sedang dibangun di Papua dapat menjadi jalan awal untuk mengurai konflik yang berkepanjangan di Papua. Mengingat Jakarta punya pengalaman penyelesaian konflik Aceh melalui jalur perundingan damai Aceh-Jakarta, pengalaman itu yang diharapkan dapat dihadirkan untuk mengurai konflik berkepanjangan yang terjadi di Papua, disamping adanya rasa saling terbuka dan saling memberikan kepercayaan tanpa ada kecurigaan diantara Jakarta dan Papua.
Dengan demikian, beberapa poin yang dapat masuk dalam agenda dialog Papua-Jakarta, antara lain:
1)   Pelurusan sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI, dengan melihat kembali pelaksanaan Perjanjian New York dan PEPERA yang menjadi suatu awal konflik yang berkepanjangan di Papua.
Dalam pelurusan status dan sejarah Papua yang terjadi pada saat pelaksanaan perjanjian New York dan PEPERA. Dengan melibatkan pihak-pihak asing yang terlibat pada saat terjadinya PEPERA, antara lain PBB, Amerika Serikat, dan Belanda;

2)   Membuat suatu komisi rekonsiliasi yang berhubungan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di papua sejak tahun 1969 sampai  dengan 2011.
Pelanggaran HAM yang terjadi dari 1969, pelaksanaan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) dan pelanggaran HAM yang terjadi saat pelaksanakan Otsus dilaksanakan yang dapat dilihat dari berbagai peristiwa penembakan yang terjadi di Papua pada saat ini;

3)   Menguatkan kembali pelaksanaan Otsus Papua yang lebih memihak kepada orang Papua dengan memberikan kebebasan tanpa intervensi Jakarta seperti dalam pelaksanaaan Otsus selama ini.
Dengan demikian Otsus dapat diharapkan sebagai suatu jalan untuk menyelesaikan masalah di Papua apabila dilaksanakan dengan benar. Dan melakukan revisi terhadap UU Otsus dengan memuat kemauan-kemauan dari pihak Papua sebagai pihak yang akan melaksanakan dan merasakan dampak secara langsung;

4)   Menghilangkan tindakan diskriminasi dan marjinalisasi terhadap orang asli Papua dengan memberikan kebijakan affirmative terhadap orang asli Papua.

DAFTAR BACAAN
Drooglever, P.J., Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
Pigay, Decki Natalis, Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000.
Sumule, Agus, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Artikel, Jurnal & Arsip Media:
"Freeport Indonesia Memberikan Manfaat Langsung 265 Juta Dolar AS kepada Pemerintah Indonesia pada Triwulan I 2010", Siaran Pers PT. Freeport Indonesia, 10 Mei 2010.
"MRP Papua Barat Nodai Harkat Orang Papua", Cenderawasih Pos, Kamis, 23 Juni 2011.
“Papua Dalam Konflik Berkepanjangan: Mencari Akar Penyelesaian Masalah Konflik Papua”, Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Januari 2004.
"Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Papua Capai Rp 4,2 Triliun", Republika.co.id, Kamis, 21 April 2011.
Rahab, Amiruddin al, “Gerakan Papua Merdeka: Penciptaan Identitas Ke-Papua-an Versus Ke-Indonesia-an”, Jurnal Dignitas, Volume III/No.1/2005.
Widjojo, Muridan S., "Di Antara Kebutuhan Demokrasi dan Kemenangan Politik Kekerasan: Konflik Papua pasca Orde Baru", Paper Proyek Penelitian Transisi Demokrasi di Indonesia, LP3ES & The Ford Foundation, 2001.
__________________, "Kekerasan Freeport: Satu Piring dengan Banyak Sendok", Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).
________________ (Ed.), dkk, "Papua Road Map, Negotiting the Past, Improving the Present and Securing the Future", The Indonesian Institute of Science (LIPI), Jakarta, 2008.
Wospakrik, Decky, "Gila! Dana Otonomi Khusus Papua Rp 1,85 T Didepositokan?" Kompasiana, 18 April 2011.


[1] Disampaikan pada Diskusi Panel “Separatisme di Indonesia: Akar Masalah dan Solusi” yang diselenggarakan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (FH UKSW) dan LSM Pemerhati Masalah Kebangsaan di Balairung Utama UKSW, Salatiga, 27 Juli 2011.
[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Papua, saat ini sedang studi hukum tata negara di Progdi. Magister Ilmu Hukum FH UKSW.
[3] Perlawanan rakyat Irian terhadap tentara Jepang juga terjadi di berbagai daerah seperti di Serui yang dipimpin Silas Papare, di Hollandia (Jayapura) dipimpin Simson dan di Manokwari dipimpin Brend & Lodewijk Manjatan. Patut dicatat juga perlawanan M. Rumagesang di teluk Bintuni pada 1934, Gerakan Reni pimpinan Wasyari Faidan di Kepulauan Raja Ampat pada 1931 dan Gerakan Konor yang dipimpin Tanda di Kampung Kabilol, Pulau Waigeo pada 1932. Lihat: P.J. Drooglever, "Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri", Kanisius, Yogyakarta, 2010, hal. 86., Decki Natalis Pigay, “Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hal. 130, 136, 137.
[4] Pigay, Ibid, hal. 130.
[5] Lihat: Drooglever, Ibid, hal. 127-129., Pigay, Ibid, hal. 143-144.
[6] Drooglever, Ibid, hal. 571-572., Pigay, Ibid, hal. 154-160.
[7] Pigay, Ibid, hal. 241-244.
[8] Muridan S. Widjojo (Ed.), dkk, "Papua Road Map, Negotiting the Past, Improving the Present and Securing the Future", The Indonesian Institute of Science (LIPI), Jakarta, 2008, hal. 9.
[9] Amiruddin al Rahab, “Gerakan Papua Merdeka: Penciptaan Identitas Ke-Papua-an Versus Ke-Indonesia-an”, Jurnal Dignitas, Volume III/No.1/2005.
[10] Muridan S. Widjojo, "Di Antara Kebutuhan Demokrasi dan Kemenangan Politik Kekerasan: Konflik Papua pasca Orde Baru", Paper Proyek Penelitian Transisi Demokrasi di Indonesia, LP3ES & The Ford Foundation, 2001, hal. 5.
[11] Amiruddin Al Rahab, Op.Cit.
[12] Agus Sumule, "Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua", Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 54.
[13] "Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Papua Capai Rp 4,2 Triliun", Republika.co.id, Kamis, 21 April 2011.
Link: http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/04/21/lk01q5-penyimpangan-dana-otonomi-khusus-papua-capai-rp-42-triliun (diakses tanggal 16 Juli 2011)
[14] Rincian dana alokasi Otsus Papua yang di depositokan: 1,25 T di Bank Mandiri (nomor seri AA 379012 Per 20 November 2008), Rp 250 miliar di Bank Mandiri (nomor seri AA 379304 per 20 Mei 2009) dan Rp 350 miliar pada Bank Papua (nomor seri A09610 per 4 Januari 2010). Lihat: Decky Wospakrik, "Gila! Dana Otonomi Khusus Papua Rp 1,85 T Didepositokan?" Kompasiana, 18 April 2011.
Link: http://hukum.kompasiana.com/2011/04/18/gila-dana-otonomi-khusus-papua-rp-185-t-didepositokan/ (diakses tanggal 16 Juli 2011)
[15] "MRP Papua Barat Nodai Harkat Orang Papua", Cenderawasih Pos, Kamis, 23 Juni 2011.
Link: http://www.cenderawasihpos.com/index.php?mib=berita.detail&id=1703 (diakses tanggal 16 Juli 2011)
[16] Selama Januari sampai Maret 2010, PT. Freeport Indonesia telah melakukan kewajiban pembayaran kepada Pemerintah Indonesia sebesar 265 juta dolar AS, atau sekitar Rp 2,4 triliun. Dengan demikian, total kewajiban keuangan sesuai dengan ketentuan yang mengacu pada Kontrak Karya tahun 1991 yang telah dibayarkan PT. Freeport Indonesia kepada Pemerintah Indonesia sejak tahun 1992 sampai Maret 2010 yaitu 9,7 miliar dolar AS. Lihat: "Freeport Indonesia Memberikan Manfaat Langsung 265 Juta Dolar AS kepada Pemerintah Indonesia pada Triwulan I 2010", Siaran Pers PT. Freeport Indonesia, 10 Mei 2010.
[17] Lihat: “Papua Dalam Konflik Berkepanjangan: Mencari Akar Penyelesaian Masalah Konflik Papua”, Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Januari 2004, hal: 15-16.
[18] Widjojo, Op.Cit., hal. 24.
[19] Berikut temuan fakta terkait penembakan di sekitar areal PT. Freeport Indonesia: (1) pelaku menembak korban dengan berondongan peluru, itu berarti mereka memiliki banyak persediaan peluru; (2) skenario penembakan diatur dengan baik; (3) senjata salah satu korban Polisi tidak diambil oleh pelakunya. Sebagian besar fakta tersebut tidak cocok dengan kebiasaan OPM: (1) untuk menghemat amunisi, OPM tidak menyerang dengan memberondong. Satu peluru harus berarti satu nyawa; (2) OPM biasanya menyerang mendadak dan setelah itu kabur, bukan menunggu semalaman dan tetap bertahan di tempat setelah polisi datang; (3) dalam penyerangan terhadap aparat negara, OPM memprioritaskan perampasan senjata, bukan dengan membunuh dan meninggalkan senjata begitu saja. Dengan fakta-fakta tersebut, serta melihat keterlibatan pasukan gabungan keamanan yang bertugas untuk mengamankan areal PT. Freeport Indonesia, sangat tidak dapat dipercaya ada sebuah kekuatan khusus yang mampu melakukan serangan dan penembakan di daerah yang di jaga oleh Densus 88 dan diperkuat pula oleh pasukan bantuan dari TNI AD. Lihat: Muridan S. Widjojo, "Kekerasan Freeport: Satu Piring dengan Banyak Sendok", Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).
Link: http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/kolom-papua/88-kekerasan-freeport-satu-piring-dengan-banyak-sendok-1- (diakses tanggal 16 Juli 2011)
[20] Ibid.